Nikmatnya Trail Riding
TERKADANG ada orang mengasosiasikan motor trail dengan olahraga bermotor ekstrim. Misalnya jumping, terbang, ngebut di jalanan tanah atau medan off-road yang berat yang untuk jarak 1 km saja membutuhkan waktu tempuh 1 jam. Tapi bagi kami motor trail atau orang menyebutnya dirtbike adalah kendaraan yang menemani kami menjelajah segala medan.
Kami sebenarnya mau jumping atau ngebut di jalanan tanah dengan motor trail. Bahkan mengarungi medan berat. Namun, apa mau dikata, umur dan pekerjaan kami sudah tak mendukung. Jangankan ngebut di medan tanah, di jalan aspal saja nyali kami sudah ciut. Ingat anak istri di rumah dan ingat hutang…hahaha. Belum memikirkan membangunkan motor jika ‘jatuh terkulai’ di medan lumpur. Lalu kalau jatuh keseleo, tulang ini terasa lebih linu dari 23 tahun lalu.
Kalau jatuh, masalahnya bukan di motor yang rusak, melainkan rasa sakit keseleonya itu bisa sampai 2 minggu tak hilang. Maklum tulang tua, hahaha. Padahal dulu waktu kami remaja rajin main bola, jari kaki kanan dan kiri langganan keseleo. Tulang kering bengkak karena beradu dan engkel kaki terkilir jangan ditanya lagi. Tinggal bawa ke tukang pijat kampung, tiga hari kemudian bisa bermain bola lagi.
(Foto-foto: Eka Zulkarnain, Raju Febrian/Motovaganza)
Nah, dibalik bayangan ‘hantu’ itu, kami ingin tetap bisa bermain motor trail, menikmati rute off-road dan tentu melaju di jalanan aspal. Kami mengambil jalan tengahnya. Kuncinya, lebih ringan. Medannya lebih ringan, motornya pun lebih ‘ringan’ di kantong.
Kami menyebutnya trail riding, atau mungkin ada yang menyebutnya adventure ride. Bahkan ada yang menyebutnya ‘snail trail’ alias jalan siput, merujuk pada sebuah istilah yang lahir di Australia mengenai hobi jalan berpetualang dengan motor trail. Dan nama yang terakhir itu bahkan menjadi nama klub hobi trail di sana.
Apapun sebutannya, bagi kami trail riding adalah menikmati jalan-jalan dengan motor trail. Kemanapun itu. Jalannya tak perlu ngebut, bisa blusukan dan melihat hamparan pemandangan yang luar biasa. Perjalanan yang tidak perlu terburu-buru, namun kami punya destinasi. Kami berhenti sesuka kami. Bisa setiap 30 km kami istirahat di warung kopi, menikmati setiap cucuran keringat, lindasan ban dengan tanah maupun aspal dan melihat view yang luar biasa. Kekayaan alam Yang Maha Kuasa.
(Foto: Eka Zulkarnain, Raju Febrian/Motovagnza)
Ketika sedang enak-enak melaju di aspal, melihat ada jalan tanah yang bagus, kami langsung masuk. Apalagi kalau itu jalan potong. Jika ternyata membuat nyasar, kami bisa balik lagi ke jalan semula. Lumayan bisa menikmati jalan tanah atau lumpur sejauh 10 km atau lebih. Tetap bisa menikmati gesekan ban dengan batu, berguncang keras, cipratan air lumpur di boot kami atau kekusutan semak belukar di sepanjang jalan. Bisa menjulurkan kaki ke bawah ketika menikung atau menstabilkan motor, menikmati tamparan angin gunung atau sengatan matahari siang.
Yang sangat menyenangkan lagi adalah kami berinteraksi intens dengan penduduk lokal. Ngobrol ngalor ngidul, mengenal budaya dan kebiasaan serta tentunya masakan daerah setempat. Kami menikmati pisang goreng, singkong bakar dengan kopi hitam kental atau kopi susu. Mengisap rokok kawung, nasi uduk kuning atau keripik opak. Sesudah menikmati rejeki dari Yang Maha Kuasa itu, kami bisa tetap ngantor hari Seninnya dengan badan lebih fit dan pikiran lebih fresh.
Yang terpenting bukan destinasi, namun menikmati setiap kilometer perjalanannya.
EKA ZULKARNAIN
Artikel Unggulan
- Terbaru
- Populer
Artikel yang direkomendasikan untuk anda
Motor Unggulan
- Terbaru
- Yang Akan Datang
- Populer
Artikel Motor dari Oto
- Berita
- Artikel Feature
- Advisory Stories
- Road Test